Korupsi dan Budaya Malu

id Hani Adhani,Korupsi,Budaya Malu

Korupsi dan Budaya Malu

Hani Adhani (kiri)

Kasus 41 orang anggota DPRD kota Malang yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK karena melakukan korupsi yaitu menerima gratifikasi yang nilainya puluhan juta rupiah dari mantan walikota Malang tentunya hal tersebut sangat mengagetkan dan membuat kita miris.

Korupsi di Indonesia sepertinya berada dalam titik nadir. Bayangkan saja dari 45 orang anggota DPRD kota Malang, 41 orang jadi tersangka korupsi dan yang tersisa hanya empat saja.

Pastinya apabila yang melakukan korupsi berjumlah 41 orang anggota DPRD kota Malang, maka kita tidak usah menanyakan dari partai mana saja, karena pasti jawabannya adalah hampir semua partai.

Tentunya kita harus berterimakasih dan mengapresiasikan kepada empat orang yang tidak menjadi tersangka oleh karena mereka setidaknya bisa menyelamatkan lembaga DPRD kota Malang dan bisa menyampaikan pesan kepada masyarakat kota Malang bahwa masih ada anggota DPRD kota Malang yang bersih dan berani menolak gratifikasi.

Bisa dibayangkan kalau seluruh anggota DPRD kota Malang menjadi tersangka, maka bisa dipastikan Indonesia berada dalam zona darurat korupsi dan pastinya seluruh masyarakat kota Malang akan merasakan malu oleh karena DPRD adalah wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi masyarakat.

Hilangnya Rasa Malu

Bila melihat fakta saat ini terkait dengan kasus korupsi maka dapat dipastikan bahwa bangsa kita saat ini sedang berada dititik nadir pemberantasan korupsi.

Hampir semua elemen masyarakat dan lembaga negara hanyut dalam arus deras korupsi. Meski kita sudah punya KPK namun tetap saja tidak ada rasa takut ataupun rasa malu apabila para pejabat tersebut tertangkap ott kpk atau dijadikan tersangka.

Malah ada pejabat yang tertangkap ott kpk masih dapat tertawa lebar seolah olah menjadi tersangka korupsi adalah hal yang lumrah dan biasa saja.

Hilangnya mental budaya malu yang menghinggapi kita semua sebagai rakyat Indonesia bukan hanya dalam ranah korupsi tapi lebih jauh lagi terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Kita bisa melihat bagaimana disetiap lampu merah masih banyak pengendara kendaraan bermotor yang dengan bangganya melanggar lampu merah, tidak memakai helm, tidak memiliki SIM, memakai handphone saat berkendara, membunyikan klakson seenaknya dan banyak pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh kita semua dan hal tersebut seolah olah hal yang lumrah dan biasa saja.

Tidak ada perasaannya takut apalagi malu saat kita melanggar lampu lalu lintas. Hingga akhirnya hal tersebut berimbas juga kepada tindak pidana korupsi.

Saat ini kita bisa melihat para pejabat yang melakukan korupsi sepertinya tidak memiliki rasa malu saat mereka tertangkap korupsi, malah mereka terkesan seperti bangga dan berupaya meyakinkan masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan yang dilakukan KPK adalah salah.

Revolusi Mental Jokowi

Program revolusi mental yang dilakukan oleh presiden Jokowi ternyata tidak bisa menyentuh para pejabat negara apalagi akar rumput.

Korupsi malah semakin menjadi dan kini malah sudah ada menteri di kabinet Jokowi yang menjadi tersangka korupsi.

Menurunnya indeks budaya malu di Indonesia inilah sebenarnya yang harus disinkronkan dengan program revolusi mental dari presiden Jokowi.

Kita sebagai masyarakat setuju bahwa pembangunan infrastruktur untuk kemajuan bangsa itu sangat penting namun hal tersebut juga harus beriringan dengan membangun budaya dan mental yang anti korupsi serta meningkatkan budaya dan mental rasa malu apabila melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum mulai dari pelanggaran lalu lintas hingga korupsi.

Bila mental dan budaya malu ini hilang maka dapat dipastikan generasi berikutnya akan lebih parah dalam hal pelanggaran hukum.

Meningkatkan Budaya malu

Harus ada upaya yang terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh negara untuk kembali membangkitkan rasa malu apabila melakukan pelanggaran hukum.

Indonesia yang notabene terkenal dengan keramahannya dan memiliki tingkat budaya malu diatas rata-rata namun saat ini sepertinya hal tersebut sudah beranjak luntur dan malah menghilang dan yang lebih memalukan lagi adalah Indonesia yang jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia namun sayangnya tidak memiliki mental dan budaya malu seperti halnya negara Jepang ataupun Korea.

Di Jepang dan Korea apabila ada isu bahwa pejabat negara melakukan korupsi pasti dalam hitungan hari akan mengundurkan diri, ini berbeda dengan di Indonesia, meski sudah ditetapkan jadi tersangka, tidak ada keinginan untuk mundur dan malah menunggu sampai putusan inkrach.

Islam mengajarkan bahwa malu adalah bagian dari iman. Apabila kita merupakan orang beriman maka secara otomatis kitapun akan memiliki rasa malu apabila melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Namun fakta saat ini justru berbanding terbalik, keimanan kita berbanding terbalik dengan rasa malu kita, seolah-olah rasa malu itu sudah bukan menjadi budaya bangsa Indonesia.

Semoga kita bisa secara sadar membuka diri untuk kembali meningkatkan rasa malu dalam diri kita dan keluarga kita yang mungkin sudah lama terkubur.

Mari kita alirkan energi rasa malu ini kepada anak cucu kita untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia agar generasi berikutnya kembali memilki mental budaya malu dan anti korupsi. #AkuMaluKorupsi.

*) Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, internasional Islamic university Malaysia (IIUM). Bekerja di Mahkamah Konstitusi. Email adhanihani@gmail.com. Mobile: 081283150373.

Alamat: asrama mahasiswa blok PG IIUM Gombak Kuala lumpur Malaysia.