Pasca penetapan Yerusalem menjadi Ibu Kota Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, umat Islam di seluruh dunia sangat menantang keras atas sikap Presiden Amerika Serikat (Donald Trump) yang mendukung perpindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem yang dilakukan secara sepihak tanpa melihat aturan atau kesepakatan International serta tanpa ada upaya diplomasi dengan negara Palestina.  

Langkah tersebut tentunya semakin memperkeruh suasana konflik Israel - Palestina. 

Tentunya kita (Indonesia) sebagai negara yang mayoritas muslim, sudah sejak lama mendukung kemerdekaan Palestina dan sebagai pilihan politik luar negeri, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.  

Adanya kebijakan yang dibuat oleh Presiden Amerika Serikat (Donald Trump) tersebut jelas sangat disayangkan, oleh karena konsekuensinya adalah semua negara Islam pasti akan menolak upaya pengambilan sepihak Yerusalem ini dan pastinya kerugian juga akan dialami bukan hanya oleh Trump sebagai Presiden akan tetapi pastinya akan dialami oleh seluruh warga negara Amerika Serikat.  

Kita sebagai masyarakat awam akan dapat menyimpulkan bahwa begitu besarnya kekuasaan Presiden Amerika Serikat sehingga bisa seenaknya saja melakukan intervensi terhadap negara lain tanpa ada rasa takut terhadap ancaman dari PBB atau negara lain.  

Adanya kebijakan yang dibuat oleh Presiden Trump ini pastinya akan membuat kita bertanya-tanya sejauhmana kontrol DPR (House of Representative) ataupun DPD (Senate) Amerika Serikat terhadap Presiden Amerika Serikat? Lalu apakah Presiden Amerika Serikat dapat diberhentikan apabila melakukan kebijakan seperti Trump ? 

Apabila melihat sejarah pemberhentian presiden di Amerika Serikat maka setidaknya ada tiga Presiden Amerika Serikat yang patut di duga akan di berhentikan yaitu Andrew Johnson pada tahun 1868 dan Bill Clinton pada tahun 1998, namun keduanya lepas dari jeratan upaya pemberhentian karena tidak terbukti.  

Sedangkan Richard Nixon yang terkenal dengan skandal Watergate pada tahun 1974, ketika dalam proses pemberhentian mengundurkan diri sebelum putusan akhir. Jadi secara kasat mata sebenarnya dalam sejarah pemerintahan di Amerika Serikat belum pernah ada presiden yang diberhentikan oleh DPR dan DPD Amerika Serikat. 


Mekanisme impeachment presiden di Amerika Serikat 

Sama halnya seperti mekanisme pemberhentian presiden di Indonesia, proses pemberhentian seorang presiden di Amerika Serikat juga tidak mudah. Ada banyak tahapan yang harus dilalui untuk memberhentikan seorang presiden sebagaimana diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat, setidaknya ada 6 norma yang menjelaskan tentang bagaimana mekanisme pemberhentian seorang presiden mulai dari tahap awal yaitu adanya dugaan atau prasangka bahwa presiden telah melanggar konstitusi yang kemudian dibahas oleh DPR, proses peradilan, hingga pengambilan keputusan akhir oleh DPD.  

Hal pertama yang dapat menyebabkan Presiden Amerika Serikat akan diberhentikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat adalah apabila presiden patut di duga melakukan pengkhianatan, penyuapan, atau pelanggaran/kejahatan berat lainnya serta perbuatan kurang baik.  

Syarat ini hampir sama dengan syarat pemberhentian Presiden di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.  

Proses atau tahapan impeachment Presiden Amerika Serikat berada di tangan DPR Amerika Serikat dan juga DPD Amerika Serikat, dimana presiden hanya dapat diberhentikan apabila dua pertiga dari anggota DPD menyatakan bahwa presiden telah benar-benar terbukti bersalah dan menyetujui pemberhentian presiden tersebut setelah dilakukan proses investigasi dan pembuktian dalam persidangan. 

Bisa kita simpulkan bahwa proses mekanisme pemberhentian Presiden Amerika Serikat hampr mirip dengan mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia dimana lembaga DPR dan DPD memiliki peranan penting dalam hal proses impeachment presiden di Indonesia. 

Selanjutnya dalam hal tindak lanjut adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden yang kemudian memerlukan pembuktian dalam persidangan, maka proses persidangan akan langsung di pimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat dimana pada saat dilakukan proses investigasi dan tahapan persidangan ataupun berjalannya proses impeachment, maka untuk sementara kewenangan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Konstitusi Amerika Serikat dicabut, sedangkan di Indonesia proses persidangan pembuktian terkait dengan pelanggaran presiden dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dimana pihak yang mengajukan usulan impeachment adalah DPR.   

Tentunya hal mengenai mekanisme dan proses investigasi serta jalannya persidangan untuk memberhentikan presiden semuanya telah diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat dimana kedua lembaga negara yang terkait langsung yaitu DPR dan DPD Amerika Serikat sebagai “the sole of power Impeachment” memiliki peranan penting dalam upaya mencari kebenaranan terkait dengan adanya dugaan pelanggaran oleh presiden tersebut dan apabila proses investigasi dan persidangan telah selesai barulah keputusan akhir kembali diserahkan kepada DPD untuk memutuskan apakah presiden terbukti bersalah atau tidak, dan minimal harus disetujui oleh dua pertiga anggota DPD. 

Lalu apakah kebijakan luar negeri Presiden Trump terkait dengan keputusan untuk membantu Israel dengan memutuskan bahwa Yerusalem adalah Ibukota Israel termasuk dalam kategori pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat ? 

Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat menyatakan sebagai berikut : “The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors”. 

Sekilas mungkin kita akan menyimpulkan bahwa kebijakan yang diambil Presiden Trump terkait Yerusalem adalah termasuk dalam ranah pelanggaran/kejahatan berat lainya (other high crimes) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat, dan tafsir terkait “other high crimes” ini menjadi ranah kewenangan DPR, DPD dan juga Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk menafsirkan dan memutuskan. Apakah kebijakan yang dibuat Presiden Trump terkait Yerusalem termasuk dalam kategori pelanggaran/kejahatan berat lainya atau bukan.  

Selain itu, apabila melihat komposisi anggota DPR Amerika Serikat yang saat ini dikuasai oleh pendukung Presiden Trump, maka kemungkinan adanya peluang untuk mengajukan usulan impeachment terhadap Presiden Trump sepertinya akan sulit terwujud karena pastinya partai pendukung Trump akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan Trump dari kursi kepresidenannya. Apalagi apabila melihat komposisi anggota DPR Amerika Serikat saat ini, mayoritas dikuasai oleh partai pendukung Presiden Trump yaitu Partai Republik.  


Peran Penting anggota DPD Amerika Serikat  

Meskipun anggota DPD Amerika Serikat mungkin termasuk yang netral karena mempresentasikan masing-masing negara bagian di Amerika Serikat yang memberikan jaminan adanya independensi dalam putusan akhir saat impeachment, namun tahapan impeachment atau bola panas awal isu impeachment tetap harus melalui DPR sehingga bisa kita simpulkan bahwa bola panas impeachment untuk Presiden Trump ini akan sulit terwujud terkecuali ada sebagian anggota partai pendukung Presiden Trump yang juga sudah tidak suka dengan tingkah laku atau kebijakan yang di buat oleh Presiden Trump.

Patut kita tunggu reaksi dari para anggota DPR dan DPD Amerika Serikat terkait kebijakan luar negeri Presiden Trump ini, dan semoga para anggota DPR dan juga DPD Amerika Serikat masih memiliki hati nurani untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan serta membantu rakyat Palestina sehingga dimungkinkan adanya peluang untuk dilakukan impeachment terhadap Presiden Trump atau minimal ada upaya tekanan yang nyata dari anggota DPR dan DPD Amerika Serikat terhadap Presiden Trump terkait kebijakan yang telah diambil terhadap Yerusalem, sehingga ada kebijakan baru yang diambil yang lebih memberikan rasa keadilan terhadap negara Palestina.  


* Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum 

   International Islamic University Malaysia (IIUM)



Pewarta : Hani Adhani *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024