(AntaraKL) - Kabut tipis masih menyelimuti pegunungan desa Tongariu, Rimbing Allo, Toraja Utara. Sejumlah warga memancangkan bambu untuk dijadikan tangga di dinding bukit batu yang luasnya 50 meter x 30 meter. Dari dinding bukit batu tersebut tampak puluhan liang-liang berbentuk segi empat yang dihiasi dengan pintu-pintu kecil yang berukiran khas Toraja, yang disebut liang lahat Bukit Batu Lokomata, tempat disemayamkannya para kerabat dan keluarga suku Toraja yang ada di daerah tersebut.
Sanak keluarga mulai memanjat ke dinding batu dan membuka pintu liang lahat yang dikenal dengan istilah “ma’buka”. Setelah itu peti jenazah mulai diturunkan satu demi satu, karena dalam satu liang lahat, bisa terdapat dua atau bahkan delapan peti jenazah.
Setelah peti jenazah diturunkan, jenazah pun dikeluarkan untuk diperlihatkan kepada sanak keluarga lainnya. Tidak sedikit jenazah yang telah menjadi tengkorak dan ada pula sebagian jenazah yang masih untuh bagian-bagian tubuhnya.
Satu persatu jenazah dibersihkan, bagi jenazah yang telah menjadi tengkorak akan dibungkus dengan kain dan tidak dimasukan lagi ke dalam peti. Namun bagi jenazah yang masih utuh bagian-bagian tubuhnya meski sudah puluhan tahun, hanya dibersihkan dan dimasukkan lagi ke dalam peti.
Jenazah yang telah dibersihkan dan dibungkus dengan kain, selanjutnya akan dimasukan lagi ke liang lahat. Prosesi membuka (Ma’buka), mengeluarkan, membersihkan, dan membungkus jenazah itulah yang dikenal sebagai Ma’nene.
Ritual Ma’Nene merupakan warisan adat yang dilakukan warga pegunungan desa Tongariu tiga tahun sekali, saat musim panen raya tiba. Ritual ini juga dimaknai sebagai bentuk rasa kasih sayang dan cinta bagi keluarga yang masih hidup terhadap keluarga mereka yang sudah meninggal. Sebagai perekat kekerabatan, dan bahkan menjadi aturan adat yang tak tertulis. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene, jika belum status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah.
Namun disayangkan, ritual Ma’nene belum sepenuhnya dijamah oleh pemerintah setempat sehingga tidak menjadi objek wisata tersendiri. (Yusran Uccang/AB)