Puasa berkualitas di era digital
Contoh lain, upaya membenturkan Islam dengan Pancasila, mana yang paling baik antara Islam dan Pancasila? Tentu, kaum milenial yang awam akan menjawab Islam, kemudian ada ajakan untuk memakai Islam dan meninggalkan Pancasila, padahal "logika" ala HTI dan kawan-kawan itu salah besar, karena Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, tentu tidak pas membandingkan agama dengan ideologi.
Atau, contoh lain jebakan digital untuk "menjadi sesat/kafir" dari Salafi/Wahabi/Anti-Madzhab karena "miskin" ilmu. Misalnya, anti-madzhab karena tidak tahu "ilmu" yang benar, seperti tidak mau hormat bendera, padahal bagaimana dengan ritual mencium Hajar Aswad (batu) saat beribadah haji? Paham itu menunjukkan realitas yang hakikatnya sok tahu madzhab Imam Syafii, tapi hanya potongan-potongan.
Atau, ritual Kristen Ortodox yang memang mirip Islam, seperti shalat, azan, dan puasa, lalu diberi narasi bahwa ada penyesatan Islam, padahal bukan penyesatan Islam, namun memang beda agama, meski mirip. Kemiripan Kristen Ortodox dengan Islam, karena Kristen Ortodhox itu dari jalur Nabi Ishaq dan Islam dari jalur Nabi Ismail. Jadi, sama-sama dari nabi keturunan Ibrahim, namun Islam akhirnya disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Kristen Ortodox punya doa mirip azan (Doa Sherma Israel), namun sejatinya bukan azan.
Atau, tahlilan langsung dicap kafir. "Itu nggak paham tahlil. Tahlil itu membiasakan Lailaha ilal-Lah sebanyak 33 kali dan bacaan lainnya. Orang kafir selama 80 tahun, lalu baca Syahadat bisa menjadi Mukmin, la kok Tahlil dianggap kafir," kata ulama KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha' (22/11/2018). Itulah "logika" radikal/sesat dalam kajian agama "awam" di medsos yang menjebak.
Intinya, gosip digital itu bisa menjadi "jebakan" dalam bentuk informasi bohong/keliru maupun informasi realistis, tapi "dibelokkan", mengingat publik Indonesia memang masih ada yang suka gosip dengan tema-tema SARA (suku/etnis, agama, ras/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin), dan politik (beda pilihan politik, bukan soal negara/bangsa).
Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Achmad Uzair Fauzan yang mengutip data dari BNPT menyebutkan bahwa ada 9.000-an situs yang mengandung konten radikalisme atau konten keagamaan yang keliru. Padahal, 54,87 persen generasi muda mencari referensi keagamaan melalui internet.
Dahulu, masyarakat mencari pemahaman keagamaan ke mimbar-mimbar pengajian, sekarang masyarakat mencarinya ke media sosial atau situs web. Jadi, harus hati-hati. Begitu, Uzair Fauzan mengingatkan dalam sebuah webinar bertajuk "Meningkatkan Kesadaran Bela Negara melalui Pembentukan Karakter Pancasila pada Mahasiswa".
Untuk kehati-hatian di era digital itu perlu informasi berbasis: sanad (narasumber kompeten), matan (konten yang dilengkapi tabayyun/klarifikasi/berimbang), keadilan/objektif, ukhuwah/kebersamaan) dan rawi (penyampai/media terverifikasi Dewan Pers/UKW/UU Pers/UU ITE). Tanpa sanad, matan, rawi, maka informasi itu harus ditinggalkan agar kita selamat dalam "berselancar" di era digital.
Dengan demikian, puasa Ramadhan pun bisa "naik kelas" dari hanya menahan lapar menjadi menahan diri, seperti difatwakan Habib Syech tentang pentingnya menghapus saling membenci, saling mencaci, dan saling menjelekkan, termasuk melalui dunia digital, agar puasa dan amalan yang ada tetap dihitung Allah sebagai kebaikan yang diterima oleh-Nya. Semoga.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sulitnya berpuasa di era digital