Jakarta (ANTARA) - Negara-negara ASEAN telah sepakat meningkatkan kontribusi energi terbarukan menjadi 23 persen pada tahun 2025 dan bergerak menuju masa depan rendah karbon.
Dalam posisi Keketuaan ASEAN 2023, Indonesia punya peran untuk lebih mudah bisa mendorong segenap anggota ASEAN agar lebih agresif melakukan transisi energi. Seperti mengulang spirit Presidensi G20 tahun lalu, ketika transisi energi juga menjadi isu prioritas.
Transisi energi adalah isu yang semakin aktual hingga beberapa dekade ke depan dan telah menjadi komitmen komunitas internasional.
Dengan potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia bisa memainkan peran lebih besar dalam transisi energi di tingkat regional.
Selaras sebagai Keketuaan ASEAN 2023, niscaya Indonesia bisa menjadi benchmark transisi energi di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia juga dapat mendorong kolaborasi untuk memperluas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan multilateral di kawasan, guna meningkatkan kapasitas dalam menyerap energi terbarukan melalui optimalisasi pemanfaatan gas Bumi.
Indonesia bisa menjadi faktor diferensiasi dalam isu transisi energi, melalui implementasi skala besar penggantian bahan bakar berbasis fosil menuju energi hijau dan terbarukan.
Dekarbonisasi regional
Saat peresmian Keketuaan Indonesia di ASEAN untuk Sektor Energi, akhir Maret lalu, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Arifin Tasrif berharap posisi Keketuaan Indonesia bisa menjadi ruang sinkronisasi dalam menghasilkan concrete deliverables, yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan ketahanan energi berkelanjutan.
Sektor energi menjadi salah satu bagian dari pilar Sustainability yang menyokong Keketuaan Indonesia di ASEAN bersama dua pilar lainnya yakni Recovery and Rebuilding dan Digital Economy.
Indonesia akan memprioritaskan ketahanan energi berkelanjutan melalui pengembangan interkonektivitas pada ASEAN Power Grid dan Trans ASEAN Gas Pipeline untuk mempercepat transisi energi di Asia Tenggara.
Kawasan ASEAN memiliki sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang sangat besar yaitu lebih dari 17.000 GW untuk dijadikan sebagai modal dalam mencapai target di mana untuk jangka pendek adalah porsi EBT pada bauran energi mencapai 23 persen dan porsi EBT pada kapasitas pembangkit sebesar 35 persen di tahun 2025 sesuai ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC).
Komitmen seluruh anggota ASEAN untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, merupakan perkembangan positif.
Sementara, hanya Filipina yang belum berkomitmen untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050, sedangkan Indonesia telah menetapkan target pada tahun 2060.
Target dan perkiraan yang mungkin saja berbeda tiap negara, sebagai penanda bahwa praktik mencapai nol bersih tidak akan mudah.
Perkembangan positif lainnya adalah ketika sumber daya energi hijau terus meningkat. Keberhasilan Vietnam di pasar tenaga surya global menunjukkan apa yang mungkin terjadi ketika kemauan politik, reformasi sektoral, dan insentif pasar bersatu.
Kemudian Laos, yang telah menyatakan diri sebagai “baterai Asia” adalah salah satu negara terkaya di kawasan ini dalam tenaga air. Sementara Indonesia dan Filipina menguasai hampir seperempat kapasitas pembangkit panas Bumi dunia.
Tenaga air masih merupakan sumber energi terbarukan yang paling penting dan kapasitasnya telah meningkat empat kali lipat sejak tahun 2000.
Bersama dengan tenaga air, energi terbarukan saat ini hanya memenuhi 15 persen dari permintaan energi regional. Secara global, energi terbarukan dapat mengambil alih batu bara untuk menjadi sumber pembangkit listrik terbesar pada tahun 2025, memasok sepertiga dari total seluruh dunia.
Ekonomi Asia yang sedang berkembang akan mendorong setengah dari pertumbuhan global dalam permintaan gas alam.
Pada tahun 2019, batu bara ASEAN menyumbang sekitar 89 GW kapasitas listrik terpasang, yang diproyeksikan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 163 GW pada tahun 2040.
Delapan puluh persen pembangkit listrik yang ada saat ini masih menggunakan teknologi subkritis (PLTU).
Pergeseran dan retrofit kapasitas batu bara ASEAN yang diproyeksikan pada tahun 2035 menjadi 100 persen pembangkit listrik tenaga batu bara ultra-superkritis dapat mengurangi emisi sebesar 1,3 miliar ton, setara dengan 25.000 turbin angin terpasang atau menghilangkan 157 juta mobil dari jalan raya.
Filipina, Vietnam, dan Indonesia berencana untuk mengurangi hingga 62 GW tenaga batu bara yang sudah direncanakan sejak tahun 2020.
Menurut perkiraan industri, membangun baru tenaga surya dan angin darat untuk mengembangkan tenaga listrik akan menjadi lebih murah (bahkan memperhitungkan penyimpanan cadangan baterai) daripada mengoperasikan pembangkit batu bara di wilayah tersebut antara tahun 2027 dan 2029.
Sejak 2019, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainnya telah memacu pembangunan tersebut khususnya kapasitas solar.
Kontribusi BUMN
Uraian tersebut secara jelas menarasikan tentang arti penting gas alam dalam transisi energi di kawasan.
Gas sebagai energi fosil yang bersih memiliki peran penting dan menjadi andalan di era transisi energi, sehingga penggunaan gas di masa mendatang akan membantu mencapai target net zero emission (NZE) sebelum sepenuhnya beralih ke energi terbarukan.
Dengan emisi lebih sedikit maka wajar apabila gas menjadi energi alternatif pengganti pembangkit listrik fosil lain seperti batubara. Selain itu, pemanfaatan gas juga relatif lebih cepat untuk dieksekusi dibandingkan pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan lainnya.
Selaras dengan posisi Indonesia sebagai Keketuaan ASEAN 2023, BUMN yang terkait dengan energi yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dituntut berkontribusi mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pengurangan emisi karbon pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas Bumi di dalam maupun di luar negeri.
Menurut Direktur Utama PHE Wiko Migantoro, dalam mendukung program transisi energi, PHE selalu menjaga prinsip Environment, Social, Governance (ESG), agar perusahaan lebih banyak memberikan manfaat kepada lingkungan dan masyarakat. Wiko menambahkan strategi dekarbonisasi merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari ESG.
PHE sebagai perusahaan hulu migas terbesar nasional, dan bagian dari rantai nilai besar Pertamina yang akan menjadi kontributor upaya dekarbonisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada peta jalan nol emisi karbon atau Roadmap Net Zero Emission Indonesia pada 2060.
Sebagai pemangku kepentingan program nasional transisi energi, Pertamina memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Peningkatan produksi migas menjadi prioritas perusahaan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), komposisi bauran besaran energi Indonesia diperkirakan akan didominasi oleh EBT pada 2050.
Diperkirakan energi minyak dan gas juga tetap berperan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Sejalan dengan target net zero emission (NZE) pemerintah pada 2060, PHE memiliki strategi transisi energi melalui peningkatan pemanfaatan energi gas yang ramah lingkungan, program dekarbonisasi dan inovasi teknologi Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS), dan Carbon Capture Storage (CCS).
Sejumlah pihak menilai gas bumi merupakan sumber energi alternatif yang menjadi pilihan utama dalam transisi energi karena jumlahnya yang cukup dan relatif lebih ramah lingkungan.
Dalam pandangan Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute), migas ke depan masih sangat diperlukan.
Kendati EBT menjadi fokus pemerintah, namun berdasarkan kajian sejumlah lembaga, penggunaan gas di masa transisi energi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati saat menjelang pertemuan WEF di Davos awal tahun ini sempat mengatakan kerja sama proyek transisi energi dilakukan sebagai jawaban atas tingginya permintaan energi terbarukan dan bahan bakar rendah karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil.
Nicke juga menegaskan, Pertamina berkontribusi untuk mendukung komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi GRK sesuai dengan Paris Agreement, dengan melakukan kolaborasi dengan negara-negara mitra anggota G20 dan ASEAN.
Langkah ini adalah kolaborasi antara BUMN dan negara, dan yang paling penting adalah kolaborasi antara umat manusia untuk berkontribusi dalam tindakan nyata mencapai tujuan menyediakan akses yang adil ke energi berkelanjutan dan melindungi iklim untuk generasi mendatang.
*) Dr. Taufan Hunneman; Dosen UCIC, Cirebon
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keketuaan ASEAN 2023 dan percepatan transisi energi