Jakarta (ANTARA) -
"Aku ini binatang jalang,
Dari kumpulannya terbuang."
Siapa yang tidak mengenal potongan bait puisi "Aku" karya Chairil Anwar tersebut, yang diturunkan dari masa ke masa, menjadi salah satu contoh puisi yang wajib dipelajari, bahkan dihafalkan oleh para siswa di tingkat sekolah dasar.
Namun, seberapa kenal kita dengan puisi-puisi Chairil? Apakah puisi "Aku" hadir sebatas untuk dihafal tanpa didalami, dan masih relevankah karya-karyanya di masa kini?
Untuk itu, di perayaan Hari Puisi Nasional, Jumat, 28 April ini, yang diperingati tiap tahun untuk mengenang wafatnya penyair kebanggaan Indonesia itu, dua produser film kondang Mira Lesmana dan Riri Riza berupaya untuk mengemas dan menghadirkan puisi-puisi Chairil Anwar dalam medium yang dekat pada anak-anak muda, dengan audio visual.
Seni Audio Visual
Ada tujuh karya Chairil yang disajikan dalam bentuk audio visual, yakni Derai-Derai Cemara digarap Papermoon Puppet dan dibacakan oleh Lukman Sardi, Kepada Kawan oleh Angki Purbandono, Ine Febriyanti, dan Lukman Sardi, Sajak Putih Oleh Nani Puspasari dan Jerome Kurnia.
Kemudian, Pemberian Tahu oleh Ruth Marbun dan Christine Hakim, Kesabaran oleh Rachmat Hidayat Mustamin dan Reza Rahardian, serta 1943 oleh Tromarama dan Happy Salma.
Seorang seniman visual Ruth Marbun yang sudah malang melintang di dunia seni, termasuk menggarap visual musisi-musisi terkenal, seperti Pandai Besi, Ari Reda, hingga Fourtwnty, mengatakan bahwa karya Chairil Anwar yang digarapnya masih relevan dengan kehidupan anak muda saat ini.
"Semua puisi Chairil itu bisa dibaca dan 'dikunyah' dengan pemikiran hari ini, padahal yang aku baca itu ditulis di tahun 1946, istilahnya negara kita aja belum jadi, tetapi bisa kita maknai sampai sekarang," kata Ruth, saat konferensi pers peluncuran antologi seni audio visual "Aku, Chairil!" di Sarinah, Jakarta Pusat, Jumat.
Ruth menggarap visual puisi "Pemberian Tahu" yang dibacakan oleh Christine Hakim dan sempat ditayangkan sebelum konferensi pers dimulai.
Ia mengaku, salah satu bait yang paling digemarinya dalam puisi tersebut berbunyi, "Nasib adalah kesunyian masing-masing."
Kekuatan dalam bait itu sungguh melintasi zaman, dan justru bisa memberi kebebasan yang lebih saatRuth membuat karya ini.
Karya yang digarapnya itu diisi dengan musik yang diproduksi oleh Baskara Putra, vokalis band Hindia dan Feast.
Kolaborasi dengan Baskara Putra menunjukkan bahwa iringan musik puisi itu tidak harus identik dengan mendayu dan lembut, karena yang ingin dicapai itu kan kekinian, dan yang harus diciptakan dalam karya ini yang sekarang, agar relevan.
Bagi Ruth, setiap karya apabila dibuat dengan tulus, pasti akan sampai pada tujuannya.