Menggerakkan Tradisi Literasi di Sekolah

id Sulton Kamal,Tradisi Literasi

Menggerakkan Tradisi Literasi di Sekolah

Sulton Kamal

Berbarengan dengan munculnya revisi Kurikulum 2013 (Kurikulum Nasional), kini dikenalkan lagi pada tingkat sekolah dasar dan menengah, istilah yang mulai akrab dengan para tenaga pendidikan dan orang tua murid yaitu Gerakan Literasi Sekolah (GLS). 

Istilah ini belum ada ketika Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional dijabat oleh Menteri Muhammad Nuh di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Embrio tentang GLS ini sebenarnya baru lahir ketika kementrian yang berpusat di Jalan Jendral Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat ini dikomandoi oleh Menteri Anies Baswedan dengan mengeluarkan Permendikbud Nomor 23/2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) pada peserta didik di sekolah, yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Muhadjir Effendy di zaman Peresiden Jokowi sekarang ini.

Konon kebijakan ini mewujud karena adanya keprihatinan dari para pemerhati dunia pendidikan kita akan lemahnya tingkat kebiasaan dan kemampuan para murid sekolah di Indonesia terhadap aktifitas membaca (Reading Activities) dalam kehidupan kesehariannya.

Padahal menurut laporan dari United Nations Development Program (UNDP) 2014, Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang berhasil mampu mengurangi angka buta huruf penduduknya. 

Dalam data yang dikeluarkan oleh badan dunia itu disebutkan bahwa tingkat kemelekhurufan penduduk Indonesia pada kelompok umur dewasa mencapai 92,8 prosen sedangkan pada katagori umur remaja adalah 98,8 prosen.

Rendahnya aktifitas membaca para murid sekolah Indonesia ini berbanding lurus dengan hasil test yang dilaksanakan oleh Asosiasi International untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun sekali sejak 2001.

Setali tiga uang, demikian juga dengan hasil uji test yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD-Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang menguji pemahaman membaca untuk memahami, menggunakan dan merefleksikan hasilnya dalam bentuk tulisan pada peserta didik tingkat sekolah menengah (pada usia 15 tahun).

Dalam PIRLS 2011 diketahui ternyata peserta didik Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara yang diuji dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 pada IEA 2012. 

Sedangkan untuk uji literasi membaca dalam PISA 2009 peserta didik Indonesia meduduki pada peringkat ke-57 dengan skor 396, padahal skor rata-rata OECD 493.
Sementara itu pada uji PISA 2012 menunjukkan bahwa peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 padahal skor rata-rata OECD 2013 adalah 496. 

Dari sejumlah 65 negara yang mengikuti PISA pada 2009 dan 2012, data PIRLS dan PISA menunjukkan bahwa peserta didik Indonesia ketrampilan memahami bacaan, maupun kompetensinya tergolong pada tingkatan yang rendah.

(Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, Kemendikbad 2016). Dari fakta tersebut diatas, baik melalui PIRLS maupun PISA, menunjukkan bahwa tingkat budaya baca para murid di sekolah Indonesia masih memprihatinkan. Kalah dari beberapa negara tetangga di Asia maupun negara serumpun di wilayah Nusantara Asia Tenggara. 

Untuk sekedar membandingkan, menurut catatan PISA 2012 ternyata posisi Indonesia berada jauh dibawah negara seperti Vietnam yang Reading Scorenya sampai 508, Thailand 441, maupun Malaysia 398, apalagi dengan Singapura 542 dan China 570.

Bagaimana dengan rilis PISA yang yang terkini 2015 ?. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) me-release pada 6 Desember 2016 hasil survei 72 negara peserta survei PISA, datanya menunjukkan bahwa kemampuan membaca (reading activities) peserta didik Indonesia belum mengalami peningkatan yang signifikan karena hanya mencapai skor 397 hanya naik satu angka saja dari skor yang dicapai pada tiga tahun sebelumnya. 

Perolehan skor ini masih dibawah capaian negara-negara lain, dan juga tergolong dalam katagori yang rendah, padahal perolehan rerata negara-negara OECD peserta survei PISA adalah 496. (http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/peringkat-dan-capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan

Bagi para pegiat pendidikan, maupun para orang tua dan stake holder lain di lingkungan dunia pendidikan, kenyataan ini dirasa sedikit menohok, sekaligus sangat disayangkan. 

Sekolah yang selama ini digadang-gadang sebagai institusi yang dapat mencerdaskan anak bangsa seolah-olah keberadaannya masih jauh panggang dari api, masih belum dapat mendekatkan peserta didik kepada kegiatan akademis yang paling dekat dengan mereka. 

Kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan akademis yang sehari-hari anak-anak sekolah kerjakan, bukan ?. 
Dengan kenyataan seperti ini, tidaklah perlu kita menyalahkan pihak manapun yang harus bertanggung jawab. 

Berbekal dengan fakta ini, marilah kita yang berperan sebagai pilar-pilar dalam dunia pendidikan, entah sebagai tenaga pendidik di sekolah, atau orang tua peserta didik di rumah, maupun masyarakat, serta pemerintah sebagai pemangku pelaksana kebijakan, hendaklah segera merenung dan berinstropeksi. 

Menjadikan hal ini sebagai triger untuk saling bekerjasama lebih baik lagi dan berjuang lebih keras lagi dalam mengemban dan menepati pesan para pendahulu pendiri bangsa founding fathers, dalam amanatnya pada  pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dimulai dari bapak/ibu guru  tenaga pendidikan atau guru menempati posisi sentral dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. 

Oleh karenanya, seorang guru di mata para peserta didiknya harus menampilkan teladan sebagaimana ungkapan bahwa guru adalah sosok yang bisa digugu lan ditiru, yaitu orang yang dapat diikuti dan dapat dicontoh oleh murid-muridnya.

Tidak begitu salah, kalau ada yang menyanjung bahwa guru itulah hakikat yang sebenarnya dari kurikulum (the living curriculum) pada sebuah pendidikan. 

Lebih dari itu malah dalam khazanah dunia timur dikenal pemahaman al-Mu’allimu fi al-taklim ahammu minal maddah wal manhaj, yang kurang lebih berarti seorang guru dalam aktifitas KBM itu menduduki posisi yang lebih penting dari materi pelajaran maupun kurikulumnya.

Setiap hari murid-murid berinteraksi didalam maupun diluar KBM dengan para gurunya di sekolah. Secara tidak langsung, mereka juga menghabiskan separuh waktu kesehariannya di sekolah. 

Kepada bapak ibu gurulah peserta didik sudah menganggapnya sebagai orang tua kedua mereka sendiri, dan karena memang sejak awal persekolahan orang tua mereka dengan sadar mendelegasikan wewenangnya kepada pihak sekolah untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. 

Jadi tidak bisa dinafikan bahwa proses belajar dan tumbuh kembang kepribadian peserta didik sangat dipengaruhi oleh kualitas relasi guru-murid, kepribadian sang guru, maupun kompetensi professional guru tadi dalam menjalankan tugasnya.

Sekali lagi gurulah yang akan mengukir dan mewarnai hitam-putih prestasi para peserta didik di sekolah. Karenanya, bagi para tenaga pendidik professional sangat dituntut untuk selalu mengupdate dirinya dan meningkatkan kemampuan profesinya secara berkelanjutan. 

Apalagi peran guru zaman sekarang seharusnya bukan lagi sekedar mampu mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mentransfer nilai (transfer of value) kepada para muridnya.

Bagi seorang pendidik professional, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan pada Bab I pasal 1 bahwa seorang guru mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. 

Jadi sudah sepatutnya seorang pendidik berusaha semaksimal mungkin menjadi figure panutan, bahkan cermin bagi anak-anak didiknya. Diakui atau tidak, prestasi yang diraih seorang anak murid, biasanya sedikit banyak merupakan pantulan dari upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh gurunya.

Berkaitan dengan gerakan literasi di sekolah (GLS), sudah barang tentu guru merupakan pemangku garda terdepan yang bisa menjadi motor penggerak program ini. 

Seorang guru disela-sela menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengemban amanah orang tua peserta didik di sekolah, biasanya terlena dengan beban mengerjakan kegiatan-kegiatan administrasif persekolahan yang menumpuk. 

Akibatnya, hal-hal yang semestinya mampu dia kerjakan untuk pengembangan diripun terkadang terabaikan.

Padahal sudah menjadi kelaziman pada era teknologi sekarang ini, bahwa bapak / ibu guru di sekolah diharapkan untuk well informed dengan ilmu pengetahuan dan informasi terkini yang berkembang di tengah masyarakat. 

Tidak lucu kalau sampai terjadi ketika dalam KBM, anak-anak yang dididiknya justru malah lebih mengetahuinya terlebih dahulu daripada gurunya.

Tidak boleh tidak, para pendidik harus senantiasa mengasah kemampuannya dalam menelaah, memahami, mengkritisi, menganalisa, membaca dan juga menulis. 

Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang akan membawa pencerahan kepada para guru sehingga kemampuan dan daya kreatifitas dalam menjalankan profesinya meningkat (Continuous Professional Development). 

Sehingga di tangan-tangan guru yang demikianlah, suasana kegiatan akademis akan tampak marak di lingkungan sekolah, sebagaimana yang diharapkan oleh program gerakan literasi sekolah ini.

Harapannya aktifitas para guru tidak lagi monoton, mengajar, mengajar dan mengajar saja. 

Tetapi bersamaan dengan tupoksinya mereka bisa berperan dalam menciptakan lingkungan warga sekolah yang literat. 

Dalam gerakan ini guru selain menjadi fasilitator, sebenarnya juga sekaligus menjadi subyek pembelajar, dan karena perannya yang vital hendaknya guru berupaya dengan keras agar menjadi fasilitator yang berkualitas.
 
Banyak yang bisa dilakukan guru dalam berkontribusi menciptakan atmosfer akademis sebagaimana diinginkan gerakan yang bertujuan menciptakan pembelajar sepanjang hayat ini. 

Bersama subyek kegiatan literasi, peserta didik, tenaga kependidikan, Kepala sekolah dan Komponen warga sekolah yang lain, guru dapat bersama-sama membentuk Team Literasi Sekolah (TLS). Team inilah yang nantinya mempunyai tugas membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan secara periodik. 

Team ini pulalah yang harus memastikan terciptanya suasana akademik berjalan dengan kondusif dan mampu meningkatkan enthusiasm seluruh warga sekolah agar terus senantiasa belajar.

Kegiatan yang bisa dijalankan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, disamping penekanan kepada peserta didik pada waktu KBM, dengan membiasakan membaca buku-buku bacaan tertentu selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung, juga bisa dicontohkan jenis-jenis pembacaan, seperti; membaca dalam hati (Sustained Silent Reading), membaca dengan nyaring (Reading Aloud), membaca bersama (Shared Reading), serta membaca dengan dipandu (Guided Reading).

Demikian pula guru dapat menugaskan murid-muridnya membuat clipping berita koran/majalah, award bagi siswa yang aktif berkunjung ke perpustakaan, serta menghidupkan majalah dinding sekolah dan bulletin Osis yang diterbitkan secara berkala. Selain itu, guru bisa saja mempelopori aktifitas-aktifitas literasi yang diciptakan bersamaan dengan moment-moment sekolah. 

Secara kolaboratif dibawah koordinasi pimpinan sekolah misalnya menyelenggarakan lomba-lomba bagi warga sekolah seperti; penulisan berita, artikel di bulletin, website sekolah ataupun media lain, resensi buku, cerpen, puisi dan novel. Diskusi tentang tokoh penulis, seminar/bedah buku, festival buku, pameran buku, penulisan dan penerbitan buku.

Dengan kegiatan-kegiatan yang mendukung terciptanya iklim akademis yang baik, diharapkan sekolah dan warganya pada gilirannya akan menjadi pelopor literasi di masyarakat, karena gerakan literasi ini sebenarnya bukan hanya sekedar membaca dan menulis, tapi juga mencakup kompetensi ketrampilan manusia secara umum untuk berfikir dan bertindak menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital maupun audiatori, dan itulah yang pada era kita sekarang ini disebut dengan kemampuan Literasi Informasi.

Tradisi baca tulis anak sekolah Kemampuan membaca bagi seseorang, biasanya muncul terlebih dahulu sebelum mempunyai kemampuan untuk menulis. Hal ini bisa dimengerti karena aktifitas membaca merupakan aktifitas yang cenderung mengkonsumsi dan pasif, berbeda dengan menulis yang memproduksi dan aktif.

Pada dasarnya manusia cenderung lebih suka menikmati dari pada berkreasi. 

Bukankah membuat itu merupakan aktifitas yang membutuhkan perenungan, berfikir dan proses kreatif memeras energi? Oleh karena itu, suatu hal yang lumprah saja kalau banyak orang bisa membaca tapi tidak bisa “menulis”.

Kiranya tidak berlebihan kalau proses kemampuan membaca dan menulis pada seseorang, relatif bisa disejajarkan dengan tumbuhkembangnya watak dan kepribadian. Keduanya sama-sama merupakan hasil pembiasaan berulang-ulang dan memerlukan waktu yang relatif panjang.

Ingatkah kita bagaimana dulu ketika memulai belajar membaca dan menulis? Prosesnya hampir sama dengan memwujudnya perilaku yang mempribadi pada seseorang. Suka menolong, mencintai kebersihan dan disiplin serta rajin (Sebagai sekedar misal). 

Karakter tersebut tidak mewujud begitu saja seketika, tapi memerlukan latihan yang terus menerus sejak kecil, sehingga terinternalisasi dalam diri dan muncul pada waktu yang tepat ketika diperlukan. Demikian juga dengan kemampuan membaca dan menulis. 

Ketrampilan ini memerlukan proses pembiasaan terus-menerus dan bertahap, seiring dengan bidang kehidupan apa yang digeluti, perkembangan kepribadian, serta bertambahnya wawasan seseorang. 

Sehingga sampai pada saatnya nanti, secara naluriyah kemampuan ini sedikit demi sedikit menjadi matang. Aktifitas dua ketrampilan ini (Membaca dan menulis) awal pertama kali muncul pada kebanyakan manusia, biasanya pada masa-masa usia persekolahan. 

Pada waktu itulah wawasan dunia baca-tulis seseorang bisa mulai terlihat, menunjukkan kearah potensi berkembang atau tidak.

Penulis ingat dahulu ketika masa-masa SMP-SMA sekitar tahun 1980-an akhir, belum ada media sosial dan perangkat computer termasuk smartphone seperti sekarang. 

Media yang mewadahi bagi anak-anak yang ingin menuangkan ide dan gagasan fikirannya paling banter adalah majalah, koran dan mading (Majalah dinding) di sekolah. Sedangkan alat tulis yang paling top ketika itu adalah mesin ketik.

Namun demikian, tradisi membaca dan menulis para remaja anak-anak sekolahan malah terlihat genuine (asli). Mereka masih banyak yang didapati naik bus atau microlet (Kendaraan umum) sambal membaca buku. 

Menuliskan berlembar-lembar catatan hariannya dalam buku diarynya. Demikian juga aktifitas saling membalas dan menulis surat sering dijumpai pada masa itu. Tempat-tempat persewaan komik dan perpustakaan sekolah banyak pengunjungnya.

Mereka kuat duduk berlama-lama menghabiskan bacaan novel atau romannya. Membaca dan memilah-milah bacaan surat kabar kemudian menggunting dan menempelnya di kertas untuk dijadikan klipping beraneka topik sesuai dengan berita dan kejadian peristiwa actual yang sedang berkembang di masyarakat.

Berbeda 180 derajat dengan zaman sekarang. Anak-anak remaja usia sekolah mereka rata-rata disibukkan dengan perangkat smartphone di tangannya. 

Walaupun dengan perangkat keras tersebut hampir semua media pembelajaran baca-tulis tersedia, tapi pada kenyataannya ketrampilan dan tradisi baca-tulis anak-anak sekolahan itu tidak meningkat berbanding lurus dengan mudahnya perangkat media yang ada ditangan mereka.

Mereka kuat membaca berjam-jam, tapi yang dibaca adalah status sosial dan balasan berita whatsapp dari anggota groups atau lawan chatting-annya. 

Mereka juga trampil memainkan jari-jemarinya melalui layar sentuh dan keyboard smartphone, mengoperasikan fitur-fitur yang ada untuk bermain dari aplikasi satu ke yang lainnya.
 
Tapi sayang beribu kali sayang, dari aktifitas baca-tulis melalui smartphone yang hampir menyita begitu banyak waktu, kegiatan itu kebanyakan tidak memproduksi apa-apa. 

Mereka banyak menulis sesuatu yang tidak berguna (meaning less) demikian juga akibatnya, mereka dengan mudah sekali menghapus tulisan tanpa sempat mengendapkan dalam fikiran dan mengambil manfaatnya.

Betul adanya media sosial seperti facebook, instagram, twitter dan lain sebagainya sebenarnya memudahkan generasi muda, kususnya anak-anak usia sekolah terpicu untuk mengasah tradisi baca-tulisnya lebih baik lagi. 

Namun sekali lagi sangat disayangkan bahwa, menjamurnya media-media sosial tersebut masih belum berkorelasi positif dengan penguasaan literasi anak-anak di Indonesia.

Kalau boleh mengambil kesimpulan bahwa, di masyarakat yang terjadi adalah seringnya media sosial disalah gunakan bukan untuk kepentingan yang produktif dan positif, alih-alih digunakan sebagai media pembelajaran misalnya, malah sebaliknya digunakan untuk hal-hal yang melalaikan dan kesenangan semata. 

Akibatnya, anak-anak Indonesia masih tetap saja penguasaan baca-tulisnya masih kalah dengan anak-anak dari negara lain. Wallahu A’lam

* Sekretaris Umum Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia (2010-2015) dan Guru Sekolah Indonesia Kuala Lumpur Malaysia