ASEAN butuh Rp56.729 triliun lebih untuk dapat beralih ke energi terbarukan

id SAREF 3.0,Sarawak Energy,energi baru terbarukan,ASEAN Power Grid,energi terbarukan

ASEAN butuh Rp56.729 triliun lebih untuk dapat beralih ke energi terbarukan

Sesi pembukaan Sustainability and Renewable Energy Forum (SAREF) 3.0 yang diadakan Sarawak Energy Berhad di Kuching, Sarawak, Malaysia, Rabu (6/9/2023), (ANTARA/Virna P Setyorini)

Dalam sesi diskusi panel di Sustainability and Renewable Energy Forum 3.0 itu, Pejabat Tertinggi Eksekutif Grup Petronas Tengku Muhammad Taufik juga membahas kurangnya literasi dan pemahaman perbankan soal risiko sektor energi terbarukan, sehingga yang terpikirkan oleh mereka selalu soal ketidakmampuan.

Dari sisi perusahaan yang akan beralih ke sektor energi terbarukan, ia mengatakan tentu juga ingin melihat ada akses perbankan, serta kebijakan dari pemerintah yang membuat proyek transisi energi tersebut menjadi dapat dibiayai oleh perbankan (bankable).

Pandangan tersebut juga diamini oleh mantan Sekretaris Eksekutif dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres yang mengatakan cukup tragis bahwa sektor finansial ada di sana, membuat komitmen, tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Sektor perbankan disebutnya harus sadar bahwa ada grup energi terbarukan yang dapat berfungsi baik. “Jadi singkirkan pertanyaan,’apakah pembangkit listrik tenaga air reliable?' (Jawabannya) Iya!” ujar Christina.

Menurut dia, energi yang berasal dari air, geotermal dan hidrogen membutuhkan struktur pembiayaan yang berbeda. Perbankan masih kurang mengeksplorasi apa yang mereka bisa dukung dan hanya terbiasa dengan “one stop shopping” yang seharusnya tidak dapat dilakukan lagi.

Mekanisme risiko

ACE, menurut Nuki, sedang mengajak semua pemangku kepentingan mulai dari sektor industri, pemerintahan dan perbankan untuk mendiskusikan mekanisme risiko. Misalnya, memberikan pelatihan kepada industri bagaimana mereka mengajukan proposal untuk proyek energi terbarukan maupun energi efisiensi yang bankable.

Green Climate Fund (GCF), ia mengatakan telah memberikan 100 juta dolar AS atau sekitar Rp1,53 triliun sebagai jaminan untuk perbankan mau memberikan pinjaman lunak kepada industri.

“Itu cukup efektif. Bank tertarik dan sepakat untuk berkolaborasi,” kata Nuki.

Saat ini, GCF telah mencapai kesepakatan dengan Korean Development Bank (KDB), dan lebih lanjut membahas itu dengan bank lokal di Indonesia untuk mencari industri-industri yang tertarik melakukan efisiensi energi.

“Itu saja ‘benefit’ (keuntungan), paling ‘challenging’ (menantang). Padahal efisiensi energi itu ‘less risk’ (lebih sedikit berisiko). Belum lagi energi terbarukan yang lebih tinggi risikonya,” ujar dia.

Dana “jaminan” dari GCF tersebut, menurut Nuki, dapat menjadi “booster” yang cukup signifikan mengajak industri dan perbankan untuk duduk di satu meja untuk kemungkinan mereduksi emisi dan melakukan efisiensi.



 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ASEAN butuh Rp56.729 triliun lebih untuk beralih ke energi terbarukan