Menguak kasus perdagangan orang di balik kedatangan warga Rohingya di Aceh
Hukuman minimal adalah pidana penjara lima tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp1,5 miliar.
Sedangkan Pasal 114 ayat (2) dikenakan kepada penanggung jawab alat angkut, yang sengaja menaikkan atau menurunkan penumpang di luar tempat pemeriksaan imigrasi dan tidak melalui pemeriksaan pejabat imigrasi. Hukumannya maksimal penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Hilangnya pasal 120 telah mengecilkan peranan keempat pelaku di perkara tersebut. Selain itu, juga menggugurkan hasil pemeriksaan polisi terhadap pelaku, yang sebelumnya mengaku mendapat pesanan dari agen di Malaysia.
Imbasnya, vonis yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera. Sebaliknya, terkesan ada diskriminasi terhadap pelaku orang asing pada kasus tersebut.
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Barat, Siswanto, ketika dikonfirmasi beralasan bahwa JPU tidak bisa menggunakan pasal 120 karena saksi kunci tidak bisa dihadirkan ke persidangan, yaitu tiga orang Rohingya dari kapal yang mendarat di Aceh Barat.
Sebabnya, mereka melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat sebelum sempat dihadirkan ke muka sidang.
“Saya kecewa sebenarnya saksi dari Rohingya tidak bisa dihadirkan karena sudah melarikan diri, sehingga dalam persidangan kami hanya bisa menghadirkan saksi yang berasal dari Aceh Barat dan saksi penting lainnya,” kata Siswanto.
Pembebasan bersyarat yang janggal
Kejanggalan juga terlihat dari pembebasan bersyarat Herman Cs. Penelusuran ANTARA mendapatkan fakta bahwa Herman Cs kini telah bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Meulaboh.
Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Kelas II B Meulaboh, Ganda Fernandi, mengatakan keempat terpidana telah menjalani kurungan penjara selama dua per tiga dari masa tahanan, dan telah memenuhi syarat administratif maupun substantif untuk menerima pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jika dihitung sejak Herman ditangkap pada 25 Maret 2024 hingga sidang vonis pada 3 September, maka terpidana sebenarnya baru menjalani 6 bulan 24 hari dari masa hukuman 14 bulan penjara. Sedangkan tiga terpidana lainnya menjalani sekitar 8 bulan dari setahun masa hukuman.
Profesor Mohd Din, Guru Besar Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, memberikan pandangannya terkait pembebasan bersyarat empat terpidana, terutama Herman Saputra cacat hukum lantaran tidak sesuai dengan pasal 10 UU No. 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
“Pembebasan bersyarat Herman Saputra yang belum memenuhi syarat minimal dua per tiga masa hukuman, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2022, menimbulkan pertanyaan besar. Syarat pembebasan bersyarat tidak hanya berkelakuan baik, tetapi juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga dari masa hukuman, dengan ketentuan minimal sembilan bulan,” katanya.
Jika Herman melarikan diri ke luar negeri tanpa izin, ini jelas merupakan pelanggaran hukum. Proses hukum untuk menangkap dan mengekstradisi pelarian yang melanggar pembebasan bersyarat harus segera dilakukan untuk menegakkan keadilan dan memastikan tidak ada penyalahgunaan sistem hukum.
Seseorang yang dibebaskan bersyarat boleh ke luar negeri, namun hanya untuk keperluan darurat seperti berobat dan harus mendapat izin dari Menteri Hukum dan HAM.
Ketua Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA), Miswar, mengatakan Polda Aceh harus mengusut kasus ini secara menyeluruh untuk mencegah kerugian negara akibat kasus perdagangan orang.
Selain itu, cepatnya terpidana Herman Saputra keluar dari penjara juga harus menjadi sorotan. Apalagi, ia mendapat informasi bahwa Herman Saputra telah berangkat ke Malaysia bersama istrinya tidak lama setelah dibebaskan.
"Penyelundupan imigran Rohingya tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menguras tenaga dan pikiran masyarakat, pejabat daerah, serta anggota TNI-Polri yang terlibat dalam proses evakuasi," kata Miswar.
Jajaran Polri dan Kejaksaan perlu seirama dalam mengusut tuntas kasus yang kini ditangani di Aceh Selatan dengan juga menerapkan delik tindak pidana pencucian uang dan perdagangan orang. Dan tak kalah penting, penegak hukum harus diawasi agar tidak 'main mata' dengan para sindikat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menguak kasus perdagangan orang di balik kedatangan Rohingya di Aceh