Cerita Derfi pekerja migran dari NTT, "Saya mati hidup kembali"

id KBRI Kuala Lumpur,pekerja Migran Indonesia,pembantu rumah tangga,Derfi Bisilisin

Cerita Derfi pekerja migran dari NTT, "Saya mati hidup kembali"

Derfi berjalan menuju ruang sidang di Pengadilan Sipil Kota Bharu, Kelantan, Malaysia, Senin (4/9/2023). ANTARA/Virna P Setyorini

Setidak-tidaknya perlakukan dan anggaplah saya seorang manusia yang sepatutnya mendapatkan perlakuan sama sebagaimana manusia-manusia yang lain


Sebelum dijemput majikan, Derfi mengaku sempat mendapat pelatihan dari agen. Ia diajarkan hal-hal dasar pekerjaan rumah tangga dan awalnya dijanjikan menerima 600 ringgit Malaysia per bulan (sekitar Rp1,7 juta dengan kurs RM1 sekitar Rp2.900 pada 2011).

Perbandingan gaji yang tentu menggiurkan, mengingat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, upah minimum regional (UMR) Provinsi NTT pada 2011 hanya Rp850.000. Tidak heran jika banyak dari mereka yang nekat merantau tanpa bekal dan wawasan yang memadai.

Namun, pada perjanjian awal bekerja, ia tidak akan menerima RM600 selama 6 bulan karena semua akan diserahkan pada agen sebagai ganti ongkos perjalanan dari kampung hingga sampai ke Kelantan.


Bekerja tanpa henti

Saat bersaksi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Sipil Kota Bharu Mohd Zul Zakiqudin Bin Zulkifli, Derfi menyampaikan bagaimana perlakuan keluarga majikan terhadap dirinya selama bekerja di sana yang tidak memperlakukan dirinya sebagai manusia.

Tidak ada tempat tidur yang layak untuknya, hanya ada lantai yang dingin tanpa alas. Bantal dan selimut terlalu mewah baginya saat itu.

Makan pun hanya sekali sehari saat malam hari, sementara dia harus bekerja dari pukul 05.00 subuh hingga pukul 02.00 atau 03.00 dini hari waktu Malaysia.

Derfi harus melayani total sembilan orang kakak beradik majikan, anaknya, termasuk ibu mereka. Total tujuh orang dewasa dan dua anak-anak.

Namun, belakangan jumlah itu bertambah menjadi lima anak-anak dan tujuh orang dewasa.

Ia harus mengerjakan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga, mulai dari mencuci baju, menyapu, mengepel, setrika pakaian, cuci piring, masak, membereskan rumah pada pagi dan malam hari. Adapun pada siang hari, Derfi harus bekerja di bengkel mobil milik keluarga majikannya.

Ia harus melayani pembeli, memasang aksesoris mobil seperti kaca film hingga lampu mobil. Semua ia kerjakan mulai pukul 09.30 pagi hingga terkadang pukul 21.00.

Masih di hadapan majelis hakim, Derfi menceritakan pernah harus bertengkar hebat dengan saudara majikannya ketika meminta sebungkus Maggi (mi instan) untuk mengisi perutnya yang terasa sangat lapar kala itu. Saudara majikannya itu akhirnya memberikan mi instan, dengan cara melemparkan mi tersebut ke wajahnya.

Ia mengaku tidak mendapat jatah makan siang di bengkel. Terkadang teman-temannya, yang merupakan warga lokal, menyisakan roti untuknya, dan disembunyikan di bagian belakang bengkel agar dapat dimakannya saat tidak ada keluarga majikan yang melihat.

Derfi memiliki visa kerja pada tahun-tahun awal bekerja di Malaysia. Namun, dokumen resmi untuk dapat tetap bekerja secara legal itu tidak lagi diperpanjang oleh majikan, dan itu membuat posisi tawarnya sebagai pekerja migran di negeri asing itu semakin sulit.

Setiap kali ada polisi datang untuk memperbaiki mobil atau sekadar memasang aksesoris di bengkel majikannya, dirinya selalu diminta untuk menghindar dan masuk ke belakang bengkel.


Kekerasan fisik dan psikis

Sepanjang dirinya bekerja bersama keluarga Koe Bon Aik, ia sudah merasakan memar di kepala, mulut, dan lengan. Kekerasan yang tidak dikehendakinya itu dilakukan terkadang dengan tangan kosong maupun gantungan pakaian.

Derfi, di hadapan hakim juga mengaku pernah ditampar dan dipukul dengan kursi kayu. Semua kekerasan itu ia rasakan atas tuduhan telah memukul istri majikan.

“Padahal istrinya yang pukul saya,” kata Derfi membela diri di hadapan majelis hakim.

Kata-kata kasar kerap tertuju padanya, melayang ringan dari mulut majikan dan keluarganya, menempatkan dirinya pada posisi terendah sebagai manusia ciptaan Tuhan yang sempurna. Pada hakikatnya, semua manusia terlahir di dunia pada derajat yang sama, namun itu tidak berlaku bagi Derfi.

Derfi sesungguhnya sosok yang tegar. Itu yang dapat terlihat hanya dengan berbincang beberapa saat dengannya.

Namun sekuat apa pun, pada akhirnya pertahanan dirinya runtuh siang itu di hadapan majelis hakim. Sangat jelas Derfi menahan tangis.

Suaranya mulai terdengar berat saat menjelaskan mengapa dirinya tidak hanya berhak mendapatkan seluruh gajinya selama bekerja 9 tahun dan 3 bulan, tetapi juga ganti rugi dari cedera yang ia alami sepanjang bekerja.